Zesh Rehman saat bermain di Fulham
Sentimen rasial antara penduduk pribumi dan imigran di Inggris telah mengakar sejak puluhan tahun lamanya. Sejak keran imigrasi dibuka lebar-lebar oleh pemerintah Inggris pada awal dekade 1950-an, sentimen rasial, terutama di kalangan kelas pekerja, terus meruncing hingga akhirnya mencapai titik kulminasi di akhir dekade 1960-an. Ide-ide ultranasionalisme menyebar begitu mudahnya ketika itu, terutama di kalangan pemuda kelas pekerja.
Para pemuda kelas pekerja tersebut awalnya hanya larut dalam zeitgeist bernama mod dan rudeboys. Dua subkultur ini pada akhirnya berevolusi menjadi sebuah subkultur baru bernama skinhead. Mereka mendengarkan musik yang sama, yakni ska dan cara berpakaian mereka pun serupa. Cara berpakaian mereka menunjukkan suatu identitas tertentu, yakni identitas kelas pekerja. Polo-shirt atau kemeja kotak-kotak berbalut jaket Harrington atau jaket bomber, celana jeans yang digulung, dan sepatu boots Dr. Martens. Sangat khas.
Berkumpulnya anak-anak kelas pekerja dengan balutan identitas serupa ini memudahkan mereka yang memiliki kepentingan politik di level elit untuk menyusupkan ide-ide mereka ke kalangan ini. Pada akhir 1960-an, para pemuda kelas pekerja tersebut bergerak ‘secara nasional’ dalam sebuah aksi yang mereka sebut Paki Bashing. Di sini, mereka melancarkan serangan kepada para imigran Pakistan yang mereka anggap merebut jatah pekerjaan mereka.
Memang tidak salah, tetapi juga tidak dapat dibenarkan. Para imigran tersebut memang sengaja dibiarkan datang ke Inggris untuk memacu kembali laju industri yang sempat mengalami stagnansi, bahkan kemunduran, di masa Perang Dunia II. Para imigran tersebut bisa dipekerjakan dalam jumlah besar dan upah yang murah sehingga secara hitung-hitungan ekonomi sangat menguntungkan bagi pelaku industri dan sang pelindung industri itu sendiri (baca: negara).
Peristiwa Paki Bashing ini ternyata tidak berhenti sampai di era 1960-an itu saja. Sentimen rasial (berlatar belakang ekonomi) ini tak kunjung berhenti bahkan hingga saat ini. Film “This Is England” arahan Shane Meadows menunjukkan bahwa di era 1980-an, sentimen tersebut masih sangat kuat terasa. Film itu sendiri diangkat dari pengalaman pribadi Meadows yang sempat menjadi anggota kelompok skinhead di daerah Midlands. Tidak hanya itu, Meadows muda juga sempat mengikuti rapat-rapat yang diadakan National Front, sebuah partai politik (sekarang sudah tidak aktif) berhaluan kanan ekstrem.
Bicara soal Midlands, berarti bicara soal wilayah industri dan bicara soal wilayah industri, berarti kita bicara soal kelas pekerja. Khalid Rehman adalah seorang imigran Pakistan yang tinggal di salah satu kota di wilayah Midlands, yakni Birmingham. Khalid Rehman adalah seorang pendukung fanatik Aston Villa yang sangat rajin datang ke Villa Park di medio 1980-an. Tuan Rehman tidak peduli pada kemungkinan bahwa ia bisa saja menjadi satu-satunya orang Asia di kerumunan Villa Park. Ia sangat mencintai sepak bola dan ternyata, kecintaannya pada sepak bola menurun kepada dua putranya.
Pasangan Khalid dan Farah Rehman memiliki enam orang anak; dua di antaranya laki-laki. Anak laki-laki tertua bernama Rizwan, sedangkan adiknya bernama Zeshan. Mereka berdua akrab disapa Riz dan Zesh. Mengetahui bahwa Riz dan Zesh sangat mencintai sepak bola seperti ayahnya dan memiliki bakat di bidang tersebut, keluarga Rehman memberikan dukungan penuh kepada keduanya untuk mengejar impian di sepak bola. Anak-anak perempuan di keluarga Rehman bahkan rela tidak memiliki boneka baru supaya Riz dan Zesh bisa memiliki perlengkapan sepak bola yang dibutuhkan untuk berlatih.
Dalam perkembangannya, Zesh ternyata tumbuh menjadi pemain yang lebih baik dibanding kakaknya. Di usia 10 tahun, ketika sedang bermain untuk klub lokal, Kingshurst, Zesh Rehman sudah menunjukkan kemampuan yang menjanjikan. Di sini sekaligus menjadi momen pertama ketika Zesh Rehman mengalami betul kejamnya sentimen rasial terhadap imigran Asia (terutama Pakistan). Rehman harus mengalami penolakan dari seorang pemandu bakat akibat sentimen rasial di usia semuda itu.
Setelah tampil brilian untuk Kingshurst di sebuah pertandingan junior, seorang pemandu bakat yang menyaksikan dari pinggir lapangan mendatangi Rehman. Ia kemudian berkata, “Kalian memiliki pola makan yang buruk, kalian takut cuaca, dan secara genetik tidak cukup kuat untuk berlaga di sepak bola. Kalian lebih suka bermain kriket, kan? Kalian tidak akan berhasil di sepak bola.”
Tolong catat penggunaan kata ‘kalian’ di kalimat yang diucapkan si pemandu bakat kepada Rehman. Dalam dialog asli berbahasa Inggris, kata yang diucapkan si pemandu bakat adalah ‘you lot’. Sebuah pernyataan yang menunjukkan situasi us against them diucapkan kepada seorang bocah berusia 10 tahun yang bermimpi bermain sepak bola. Rehman kecil pulang dan menangis. Tetapi, ia tidak menyerah begitu saja. Ia tahu bahwa ia mampu. Ia hanya merasa sakit hati dengan ucapan berbau rasial itu.
Nasib baik rupanya memihak Zesh Rehman dan keluarga Rehman secara keseluruhan. Dua tahun setelah peristiwa menyakitkan tersebut, tepatnya pada tahun 1995, seorang pemandu bakat dari klub London, Fulham, meyakinkan Rehman sekeluarga untuk pindah ke London demi karir sepak bola Zesh. Di kesempatan itu pula, Zesh Rehman berhasil masuk ke akademi sepak bola Fulham. Sebuah jalan terbuka lebar bagi Zesh Rehman untuk menggapai mimpi. Ia tahu, kesempatan ini tidak datang dua kali, dan maka dari itu, ia tidak menyia-nyiakannya.
Sebelah tahun ia habiskan di akademi Fulham hingga akhirnya ia melakoni debut seniornya pada 2004. Ketika itu, Fulham berada di bawah komando Chris Coleman. Coleman sendiri ketika masih aktif bermain dikenal sebagai salah satu bek tangguh. Debut Rehman sendiri tidak mudah. Bertempat di Anfield, Rehman yang baru berusia 21 tahun harus berhadapan dengan bintang-bintang Liverpool seperti Michael Owen dan Steven Gerrard. Pertandingan itu sendiri berakhir imbang tanpa gol. Sebelumnya, selama satu musim, Rehman dipinjamkan ke Brighton and Hove Albion untuk menimba pengalaman.
Selama dua tahun memperkuat Fulham, Rehman tampil sebanyak 30 kali. Karir Rehman selanjutnya memang tidak dapat dikatakan mulus karena, bukannya menanjak, karirnya justru bisa dibilang menurun. Setelah dua tahun di Fulham, ia dipinjamkan ke Norwich City sebelum akhirnya dilego ke Queens Park Rangers. Selama di QPR, Rehman juga lebih sering dipinjamkan ke klub lain seperti Brighton and Hove Albion, Blackpool, dan Bradford City. Di musim 2009/10, Bradford City akhirnya mengontrak Rehman secara permanen.
Walaupun didaulat menjadi kapten, Rehman hanya menghabiskan satu musim (dengan kontrak penuh) bersama Bradford City akibat perselisihannya dengan pelatih Peter Taylor. Tentu saja, Peter Taylor yang ini bukanlah Peter Taylor yang terkenal sebagai partner sehati Brian Clough. Keputusan manajemen Bradford City kala itu untuk meminjam dua pemain muda Manchester United, Oliver Gill dan Reece Brown membuat Rehman harus turun ke bangku cadangan. Rehman yang kecewa kemudian menumpahkan kekesalannya di BBC. Tindakan itu membuatnya dimasukkan ke tranfser list oleh manajemen.
Setahun kemudian, Rehman mendapat telepon dari Thailand. Muangthong United menawarinya untuk bermain di Liga Thailand. Awalnya, Rehman menganggap telepon itu adalah sebuah lelucon, tetapi ternyata Muangthong tidak main-main. Mereka kemudian memberi tiket pesawat kepada Rehman untuk mengunjungi mereka di Thailand. Setelah puas dengan apa yang dilihatnya, Rehman akhirnya setuju untuk bergabung ke Muangthong United.
Di Muangthong United, Rehman bertemu kembali dengan seorang bintang sepak bola asal Inggris, Robbie Fowler yang kemudian menjadi pelatih Muangthong. Di Muangthong juga, Rehman yang mengalami kendala bahasa kemudian menciptakan sebuah aplikasi iPhone bernama Zesh Rehman’s Football Talk. Aplikasi ini mampu melakukan proses transliterasi istilah-istilah sepak bola dari satu bahasa ke bahasa lain. Yang menarik, aplikasi ini gratis sehingga dapat digunakan secara luas.
Saat ini, Rehman sudah tidak bermain lagi untuk Muangthong United setelah pada awal musim ini ia hijrah ke klub Hong Kong, Kitchee. Menilik perjalanan karir, Rehman barangkali tidak akan pernah mampu mewujudkan mimpinya sebagai pesepakbola nomor wahid. Namun, selama perjalanan karirnya, ia telah berhasil melakukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar menjadi pesepakbola nomor wahid.
Dengan keberhasilannya menembus Liga Premier Inggris bersama Fulham, ia telah berhasil menjadi pemain Inggris keturunan Asia pertama yang tampil di liga sepak bola Inggris. Rehman berhasil menjadi inspirasi bagi kaum minoritas seperti dirinya di Inggris.
Ia membuktikan kepada semua orang (terutama kepada pemandu bakat yang dulu menolaknya) bahwa bukan mustahil seorang Inggris keturunan Asia mampu menjadi pesepakbola di Liga Inggris. Meskipun saat ini ia bermain di Asia, ia sudah pernah merasakan titik tersebut. Sebuah titik penting yang menjadi tonggak tersendiri bagi komunitas Inggris-Asia.
Rehman sendiri pada akhirnya memilih untuk memperkuat tim nasional Pakistan (di mana ia, secara tidak mengejutkan, didaulat menjadi kapten), setelah karir tim nasional Inggris nya mengalami kemandegan di level U-20. Ia menjadi inspirasi bagi anak-anak muda Pakistan soal bagaimana berprestasi di sepak bola.
Ia menunjukkan kepada anak-anak di Pakistan dan kepada seluruh dunia bahwa Pakistan bukan hanya soal kriket. Antusiasme mereka di sepak bola cukup besar dan Rehman adalah lokomotif mereka untuk menuai prestasi di masa mendatang.
Kampanye untuk memotivasi anak-anak muda Asia yang tinggal di Eropa (Inggris) supaya bisa berprestasi (terutama di sepak bola) secara konstan ia lakukan lewat yayasannya, The Zesh Rehman Foundation. Lewat yayasan ini, ia melakukan counter-attack terhadap stigma ‘Asians Can’t Play Football’ yang merebak di tanah Britania.
Sentimen rasial yang masih menghantui sepak bola berusaha ia lawan lewat yayasan ini. Saat ini, kegiatan operasional The Zesh Rehman Foundation dijalankan oleh Riz Rehman yang sudah pensiun dari sepak bola akibat patah kaki.
The Zesh Rehman Foundation juga bekerjasama dengan organisasi lain, Kick It Out, untuk memerangi sentimen rasial kepada anak-anak keturunan Asia di sepak bola. Ia tidak ingin mimpi anak-anak Asia itu hancur hanya karena sentimen rasial dari kaum pribumi.
Dalam sebuah wawancara dengan Daniel Taylor dari The Guardian pada tahun 2010, Rehman pernah berkata demikian, “Jika para pemandu bakat menyaksikan pertandingan dengan berbagai mitos memenuhi kepala mereka, mereka tidak akan mampu menilai pemain berdasarkan kemampuan. Kuning, ungu, hitam, jika mereka cukup bagus, saya akan memilih mereka.”
Zesh Rehman mungkin bukan pesepakbola terbaik yang pernah kita kenal, tetapi ia adalah salah satu yang paling inspiratif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Blog ini terbebas dari yang namanya CAPTHA. Jadi berkomentarlah dengan baik dan gunakan kata-kata yang sopan. Jangan SPAM, SARA, ataupun PORN.